BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Upaya umat Islam dalam menjelaskan sikap islam atau
Rasul SAW, mengenai suatu masalah harus
berpegang pada hadis shahih dan hasan bukan pada hadis dhaif, apa lagi pada
hadis maudlu.
Memang boleh jadi manusia saat hidup mengalami
keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarkan
untuk menolak kehadiran Tuhan dan meninggalka kepercayaanya, tetapi ketika itu
keraguannya akan beralih menjadi
kegelisahan, khususnya pada saat ia merenung tentang fitrahnya sebagai menusia.
Empirisme yang dipelopori oleh John Locke menyatakan
bahwa perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh faktor-faktor alam
lingkungan, termasuk pendidikan. Ibaratnya adalah tiap individu manusia lahir
bagaikan kertas putih yang siap diberi warna atau tulisan oleh faktor
lingkungan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran tuhan ada dalam setiap
manusia, dan bahwa hal itu merupakan Fitrah (bawaan) manusia sejak asal
kejadiannya.
Dalam surat Ar-Rum ayat 30 menjelaskan bahwa firtrah
manusia yaitu potensi manusia untuk beragama dan bertauhid kepada Allah. Dalam
ayat ini pula di tafsirkan bahwa konsep fitrah menjadi sesuatu konsep sesuia
kemampuan dan latar belakng pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
peran orang tua dalam pengembangan fitrah anak ?
2.
Bagaimana
mengadzani anak yang baru lahir ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
peran orang tua dalam pengembangan fitrah anak.
2.
Mengetahui
bagaimana mengadzani anak yang baru lahir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran Orang Tua Dalam Pengembangan Fitrah Anak
Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah
satu makna ‘fitrah’ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan
mencipta). Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa fitrah adalah
penciptaan awal atau asal kejadian. fitrah adalah kondisi "default
factory setting", suatu kondisi awal sesuai desain pabrik.
Perkembangan
manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan bawaan tetapi yang peling
terpenting mempengaruhi perkembangan manusia adalah kedua orang tuanya sendiri.
Didalam kitab hadis yang disusun oleh para Imam Mazhab terdapat beberapa hadis
yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam meriwatkan hadis terjadi perbedaan matan (bacaan
: redaksi) namun secara subtasnsif memiliki pengertian yang sama.
a. Riwayat al-Bukhari
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ،
قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً
جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ
اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan
berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri
(yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa
Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam
keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak
beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan
ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah
anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota
tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.
b. Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي
سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: قَالَ
رَسُولُ اللَّه" مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ
الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ
يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada
kami (dengan mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang
berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan) Sa'id
bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari Abu Hurairah bahwa
ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan)
fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama
Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak
memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda
mengetahui di antara binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota
tubuhnya yang lain)
c. Riwayat at-Tarmizi
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ "،
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ هَلَكَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: " اللَّهُ
أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ بِهِ
Artinya :Muhammad bin Yahya al-Qutha'i al-Bashri
menceritakan kepada kami (yang mengatakan) 'Abd al-'Aziz bin Rabi'ah al-Bunani
menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A'masy menceritakan kepada kami
(yang bersumber) dari Abu Shalih (yang berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
saw bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan beragama (Islam),
kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikannya beragama Yahudi atau
Nasrani atau menjadikannya musyrik.
Dalam perspektif pendidikan islam,
fitrah manusia di maknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut
kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup (upaya
mempertahankan dan melestarikan hidupnya), kekuatan rasional (akal), dan
kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan bersifat dinamis dan terkait secara
integral.
Konsep fitrah, menurut islam juga
berbeda dengan teori konvergensi oleh william stern. Dalam pandangan islam
perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata di pengaruhi oleh lingkungan
semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas sejauh mana
peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk kepribadian manusia.
Mendidik anak dengan cara memberikan
kebebasan kepada anak didik sesuai dengan kebutuhan. Tindakan ini dilakukan
berkat adanya sabda Nabi Muhammad Saw:
ما من مو لو
د الا يو لد عل الفطرت
Artinya: Tidak
seorangpun yang dilahirkan kecuali menurut fitrahnya.
Pemberian kebebasan ini tentunya
tidak mutlak, melainkan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kebutuhan,
sebab anak adalah objek yang masih dalam proses penyembuhan dan belum memiliki
kepribadian yang kuat. Ia belum dapat memilih sendiri
B.
Mengadzani Anak Yang Baru Lahir
Hadits-hadits tentang mengadzani bayi
Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin
Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di
telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan
tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu
Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه
اليسرى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan
bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan
iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan
pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan
bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya.
1. Pendapat Para Ulama Madzhab
Mazhab Syafi’i
Al Imam an-Nawawi
rahimahullah, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i berkata : “ Berkata
sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami ( ulama Syafi’iyyah), disukai
untuk diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru
dilahirkan.[1]
Penegasan pendapat
tentang kesunnahan adzan di telinga bayi masih banyak lagi bertaburan
dalam kitab-kitab mazhab syafi’i lainnya, diantaranya :
Al-Muhadzab (1/438) : “ Disunnahkan bagi orang yang baru kelahiran anak
untuk mengadzani di telinga bayi tersebut”.
Kifayat al-Akhyar (2/224) : “ Disunnahkan untuk diadzani di telinga kanannya dan
diiqamati disebelah telinga krinya”.
Al-Bujairimi ‘ala
al-Khathib (4/308) : “ Disyari’atkan adzan di telinga
kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati di telinga sebelah kiri”.
Para ulama Hambali
hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah
menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil
perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang
menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).
Imam Malik memiliki
pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan
menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama
Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak
mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)
Ulama lain yang
menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim
dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para
ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini.
Lalu manakah pendapat yang kuat? Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil
yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia
selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah
sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى
اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah.
(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku
bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura: 10)
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, “Maksudnya
adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam
perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam
perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan
Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana
firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Qs. An
Nisa’ [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam
segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita
mengembalikan segala urusan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada
Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa
dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti
cocok dan pas dipakai untuk beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat
(membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat
rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari
“fitrahnya”.
Mengadzani bayi yang baru lahir dihukumi Sunnah oleh
mayoritas ulama. Ada yang hanya mengadzani saja, ada yang juga
mengqamatinya.Sedangkan sebagian ulama yang lain menghukumi tidak ada
kesunnahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Arifin, M, 2009,Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara,
Ø Ali, Nizar, 2011Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatannya,
Yogyakarta Idea Press.
Ø al-Asqalani, Ibnu Hajar, 2008, Fathul
Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid XXIII,
Jakarta: Pustaka Azzam.
Ø ______________________, 2008, Fathul
Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid VII,
Jakarta: Pustaka Azzam.
Ø Munawir,
Fajrul,Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr.
Abd. Muin Salim, Yogyakarta : Teras, tt.
Ø Ramayulis dan Syamsu Nizar, 2009Fisafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia.
Ø Al-Imam
An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348
Ø Al-Albani,
Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320
Ø Al-Albani,
Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401
Ø Mushannaf
Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336
Ø Ibnu
Qudamah, jilid 11 hal, 120
Ø Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal. 22.
Ø Nihayatul
Muhtaj jilid 3 hal. 133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar