Selasa, 16 Mei 2017

Hadist upaya pengembangan fitrah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Upaya umat Islam dalam menjelaskan sikap islam atau Rasul SAW, mengenai suatu masalah  harus berpegang pada hadis shahih dan hasan bukan pada hadis dhaif, apa lagi pada hadis maudlu.
Memang boleh jadi manusia saat hidup mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarkan untuk menolak kehadiran Tuhan dan meninggalka kepercayaanya, tetapi ketika itu keraguannya akan  beralih menjadi kegelisahan, khususnya pada saat ia merenung tentang fitrahnya sebagai menusia.
Empirisme yang dipelopori oleh John Locke menyatakan bahwa perkembangan pribadi manusia ditentukan oleh faktor-faktor alam lingkungan, termasuk pendidikan. Ibaratnya adalah tiap individu manusia lahir bagaikan kertas putih yang siap diberi warna atau tulisan oleh faktor lingkungan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran tuhan ada dalam setiap manusia, dan bahwa hal itu merupakan Fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.
Dalam surat Ar-Rum ayat 30 menjelaskan bahwa firtrah manusia yaitu potensi manusia untuk beragama dan bertauhid kepada Allah. Dalam ayat ini pula di tafsirkan bahwa konsep fitrah menjadi sesuatu konsep sesuia kemampuan dan latar belakng pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa peran orang tua dalam pengembangan fitrah anak ?
2.      Bagaimana mengadzani anak yang baru lahir ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui peran orang tua dalam pengembangan fitrah anak.
2.      Mengetahui bagaimana mengadzani anak yang baru lahir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Peran Orang Tua Dalam Pengembangan Fitrah Anak
Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna ‘fitrah’ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa fitrah adalah penciptaan awal atau asal kejadian. fitrah adalah kondisi "default factory setting", suatu kondisi awal sesuai desain pabrik.
      Perkembangan manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan bawaan tetapi yang peling terpenting mempengaruhi perkembangan manusia adalah kedua orang tuanya sendiri. Didalam kitab hadis yang disusun oleh para Imam Mazhab terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam meriwatkan hadis terjadi perbedaan matan (bacaan : redaksi) namun secara subtasnsif memiliki pengertian yang sama.
a.       Riwayat al-Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata) Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri (yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda “setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.

b.      Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا حَاجِبُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّه" مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرَانِهِ، وَيُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami (dengan mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan) Sa'id bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)

c.       Riwayat at-Tarmizi
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْمِلَّةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُشَرِّكَانِهِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ هَلَكَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: " اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ بِهِ
Artinya :Muhammad bin Yahya al-Qutha'i al-Bashri menceritakan kepada kami (yang mengatakan) 'Abd al-'Aziz bin Rabi'ah al-Bunani menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A'masy menceritakan kepada kami (yang bersumber) dari Abu Shalih (yang berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan beragama (Islam), kedua orang tuanya (memiliki andil dalam) menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani atau menjadikannya musyrik. 
Dalam perspektif pendidikan islam, fitrah manusia di maknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup (upaya mempertahankan dan melestarikan hidupnya), kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual (agama). Ketiga kekuatan bersifat dinamis dan terkait secara integral.
Konsep fitrah, menurut islam juga berbeda dengan teori konvergensi oleh william stern. Dalam pandangan islam perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata di pengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk kepribadian manusia.
Mendidik anak dengan cara memberikan kebebasan kepada anak didik sesuai dengan kebutuhan. Tindakan ini dilakukan berkat adanya sabda Nabi Muhammad Saw:
ما من مو لو د الا يو لد عل الفطرت     
Artinya: Tidak seorangpun yang dilahirkan kecuali menurut fitrahnya.
Pemberian kebebasan ini tentunya tidak mutlak, melainkan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kebutuhan, sebab anak adalah objek yang masih dalam proses penyembuhan dan belum memiliki kepribadian yang kuat. Ia belum dapat memilih sendiri
B.       Mengadzani Anak Yang Baru Lahir
Hadits-hadits tentang mengadzani bayi
Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya.
1.      Pendapat Para Ulama Madzhab
Mazhab Syafi’i
Al Imam an-Nawawi rahimahullah, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i berkata :  “ Berkata sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami ( ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan.[1]
Penegasan pendapat tentang kesunnahan  adzan di telinga bayi masih banyak lagi bertaburan dalam kitab-kitab mazhab syafi’i lainnya, diantaranya :
Al-Muhadzab (1/438) :  “ Disunnahkan bagi orang yang baru kelahiran  anak untuk mengadzani di telinga bayi tersebut”.
Kifayat al-Akhyar (2/224) :  “ Disunnahkan untuk diadzani di telinga kanannya dan diiqamati disebelah telinga krinya”.
Al-Bujairimi ‘ala al-Khathib  (4/308) : “ Disyari’atkan adzan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati di telinga sebelah kiri”.
Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).
Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)
Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat? Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura: 10)
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, “Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (Qs. An Nisa’ [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Fitrahnya manusia adalah mengabdi (ibadah) kepada Allah SWT, maka manusia dengan struktur jasmani dan rohaninya pasti bisa dipakai untuk mengabdi (ibadah) kepada Allah. Rohani dan jasmani manusia pasti cocok dan pas dipakai untuk beribadah. Sebaliknya jika dipakai maksiat (membangkang) kepada Allah pasti tidak nyaman, dan dipastikan pasti bakal cepat rusak dan celaka. Sungguh kecelakaan manusia adalah karena penyimpangan dari “fitrahnya”.
Mengadzani bayi yang baru lahir dihukumi Sunnah oleh mayoritas ulama. Ada yang hanya mengadzani saja, ada yang juga mengqamatinya.Sedangkan sebagian ulama yang lain menghukumi tidak ada kesunnahannya.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  Arifin, M, 2009,Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara,
Ø  Ali, Nizar, 2011Memahami Hadis Nabi Metode dan Pendekatannya, Yogyakarta Idea Press.
Ø  al-Asqalani, Ibnu  Hajar, 2008, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid XXIII, Jakarta: Pustaka Azzam.
Ø  ______________________, 2008,  Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj. Amiruddin, Jilid VII, Jakarta: Pustaka Azzam.
Ø  Munawir, Fajrul,Pendekatan Kajian Tafsir, dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Abd. Muin Salim, Yogyakarta : Teras, tt.
Ø  Ramayulis dan Syamsu Nizar, 2009Fisafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Ø  Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348
Ø  Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320
Ø  Al-Albani, Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401
Ø  Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336
Ø  Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120
Ø  Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal. 22.
Ø  Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133



Tidak ada komentar:

Posting Komentar